Jumat, 25 Juni 2010

Suku Muyu : Pekerja Keras Yang Mulai Terasing PDF Print E-mail



Sepertinya dia takkan seperti itu jika saja anaknya yang sulung telah bekerja. Sayangnya tidak. Si sulung masih SD, begitu juga si bungsu. (Foto: Dok JUBI)

JUBI — Mereka adalah manusia pekerja. Alam telah membentuknya begitu sangat kuat. Namun kini, saat badai “pendatang” masuk ke tanahnya, merekapun mulai terasing
Perempuan bermata sipit itu duduk menatap jualannya. Tidak seperti kebanyakan perempuan Muyu, kulitnya agak sedikit putih. Diujung kaki yang dilunjurkan, Noken (tas bawaan tradisional warga Papua) tergeletak. Isinya buah Pinang. Sepertinya dia takkan seperti itu jika saja anaknya yang sulung telah bekerja. Sayangnya tidak. Si sulung masih SD, begitu juga si bungsu. Sehari-harinya, Eta, panggilan akrab perempuan berambut keriting yang dianyam rapi itu mangkal di pasar Mopah Merauke. Di menjual sayur. Kangkung hingga buah Pepaya. Harganya bervariasi. Rokok putih dikepulkan beberapa saat jika pembeli berlalu. Siang itu juga begitu. Rokok digapit erat disela-sela jemarinya.
Dikejauhan, deru mikrolet berkejaran. Ada yang pergi keluar terminal, ada juga yang masuk. Beberapa penumpang turun dan langsung membaur ditengah keramaian pasar. Pasar Mopah merupakan pasar dadakan. Dibangun pada 2006. Saat itu pemerintah daerah Merauke merenovasi Pasar Ampera di Paulus Nafi sehingga pedagang dialihkan ke pasar seluas kurang lebih lima hektar ini. Sama seperti Eta, dijalan masuk pasar baru Mopah, pedagang sayur lain juga berjejeran. Rata-rata adalah perempuan Muyu. Mereka memang pekerja keras. Debu beterbangan dari kendaraan yang melewati depan merekapun kerap tak dipedulikan. Puluhan perempuan paruh baya ini hanya duduk diatas tikar kusut. Bawahnya pasir merah. Depannya jualan tertata rapi. Tidak ada tenda pelindung. Yang ada cuma panas sinar mentari yang langsung merasuk ke dalam tubuh. Mereka telah berada disitu semenjak 2006. “Kita tidak mau jualan didalam pasar, karena sudah ada orang Jawa dan Makasar. Terus kalau didalam, kita tidak bisa dapat pembeli,” ujarnya.
Eta tinggal di Kelapa Lima. Kompleks perumahan warga asli yang rata-rata dihuni oleh suku Muyu. Mereka telah berada disana semenjak berpuluh-puluh tahun. Asalnya dari Boven Digoel. Mereka hijrah ke Merauke untuk mencari peruntungan selain faktor lainnya. Merauke sendiri adalah milik suku Malind Anim. Setelah berpuluh tahun, Suku Muyu menetap dan berkembang biak.
Istilah Muyu diperkirakan muncul bersamaan dengan masuknya Missi Katholik yang di bawa oleh pastor Petrus Hoeboer berkebangsaan Belanda, 1933 silam di kampung Ninati, daerah Muyu bagian utara di Kabupaten Boven Digoel. Eksplorasi pertama di daerah Muyu awalnya dimulai dengan sebutan Perkemahan Swallow (Swallow Bivouac). Swallow adalah sebuah kapal perkemahan yang saat itu, Februari 1909, berlabuh di sungai Digoel, dekat muara sungai Kao. Pada Mei tahun yang sama, kapal itu berlayar ke hulu dari Sungai Digul. Dari 27 Maret hingga 6 April ekspedisi itu mengarungi Digoel hingga ke hulu Sungai Kao, 50 km jauhnya.
Diperkirakan dalam ekspedisi tersebut, Missi Katholik mengadakan kontak pertama dengan penduduk setempat. Tepatnya dipinggiran Sungai Kao dengan sub suku Kamindip yang hidup di wilayah dusun mereka di pinggiran Sungai Mui. Dalam sub suku ini, terdapat klen bernama Muyan. Klen Muyan yang diperkirakan mengadakan kontak pertama dengan para ekspedisi. Perkenalan ini kemudian membawa mereka dalam tulisannya menyebut seluruh penduduk dari Selatan hingga ke Utara dengan satu istilah, Muyu. Di versi lain, istilah Muyu muncul karena penduduk setempat menyebut Sungai Kao di bagian barat dengan Fly di bagian Timur dengan istilah “ok Mui” atau “Sungai Mui” kepada orang Belanda. Penyebutan itu akhirnya berubah menjadi Muyu.
Orang Muyu juga menyebut dirinya dengan istilah Kati. Artinya “manusia yang sesungguhnya”. Sebutan ini berbeda dari suku-suku tetangga di Mandobo bagian Barat dan Selatan, suku bangsa Ngalum di bagian Utara serta orang Awin di bagian Timur, termasuk suku di Negara Tetangga Papua New Guinea (PNG). Suku Muyu mendiami daerah sekitar sungai Muyu yang terletak di sebelah Timur laut Merauke yang berbatasan langsung dengan PNG. Mereka tersebar di beberapa desa.  Bahasa yang digunakan adalah bahasa Muyu.
Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang terpenting. Keluarga inti terdiri dari seorang laki-laki dengan satu atau beberapa istri beserta anak. Berbagai bentuk kehidupan orang Muyu menunjukan peran penting keluarga inti, terutama soal pemukiman dan penguasaan tanah serta harta. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun nibung. Sehari-harinya orang Muyu hidup dari berburu, memelihara babi dan berkebun. Suku Muyu mempercayai adanya kekuatan tertinggi yang menciptakan hewan, tanaman, dan sungai-sungai. Mereka juga percaya arwah orang mati masih mengadakan kontak dengan yang hidup. Sangat sedikit buku yang membahas soal suku Muyu.
Bila dibandingkan dengan suku lain di Papua, Muyu memiliki ciri yang sedikit berbeda. Misalnya dengan suku Asmat. Rumah panggungnya sangat tinggi antara 4 hingga 6 meter, sedangkan Asmat hanya 2 meter. Suku Muyu sering berperang. Mereka juga kerap individualistis. Hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Orang Muyu memelihara babi dan berkebun sendiri-sendiri. Dalam kasus poligami, tiap istri memiliki gubuk, babi, dan kebun sendiri. Pengetahuan-pengetahuan spiritual diturunkan hanya dari ayah ke anaknya. Tidak ada pemimpin untuk kelompok besar. Menariknya, orang Muyu memiliki alat bayar. Namanya Ot. Sering digunakan sebagai mas kawin dan barang tukar dalam upacara pesta babi. Pesta babi digelar untuk mencari Ot sebagai hadiah imbalan dari tamu. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan Ot. Sistem ekonomi ini cukup maju dan akhirnya memotivasi tindakan mereka. Saat ini suku Muyu telah berkembang dengan pesat. Jumlahnya ribuan.
Sistem barter barang-barang dalam suku Muyu adalah hal unik yang baik bahkan dijaman sekarang. Dengan bertukar barang, dua orang individu bertukar rasa percaya, dan menjalin relasi lebih dari sekedar “penjual-pembeli”. Relasi sebagai teman inilah yang sering menjadikan mereka begitu erat satu dengan yang lain.

Tentang Muyu
Dalam suku bangsa Muyu atau Kati terdapat sejumlah sub suku dengan wilayahnya masing-masing. Jumlahnya delapan. Antara lain sub suku Kamindip di bagian selatan. Mereka menempati kampung Sesnuk, Anggamburan dan Umap. Kemudian, Sub suku Okpari yang menempati ibukota distrik Mindiptana, kampung Wanggatkibi di bagian Utara, kampung Imko di bagian Timur dan kampung Amuan di bagian tengah Timur laut. Selanjutnya, Sub suku Kakaib di bagian Timur dari distrik Mindiptana. Mereka mendiami kampung Kombut, Mokbiran, dan sebagian kampung Kawangtet. Berikutnya, Sub suku Are dan Kasaut di bagian Utara, berbatasan langsung dengan suku Ngalum dan wilayah distrik Waropko. Mereka menghuni kampung Simpang, sebagian wilayah ibukota distrik Waropko, serta sebagian kampung Tembutka.
Sub suku lainnya, yakni Kasaut, lebih banyak menempati bagian utara di kampung Upkin dan Ikhcan. Ada juga Sub suku Jonggom yang mendiami bagian Timur Laut di kampung Ninati, Yetetkun dan sebagian kampung Tembutka. Selanjutnya, Sub suku Ninggrum,  tetangga dari Jonggom, juga menguasai bagian Timur Laut di kampung Ninggrum. Sub suku ini merupakan yang terbesar hingga menempati beberapa kawasan di wilayah PNG.  Sub suku berikutnya adalah Kawibtet, mereka berada di tengah-tengah Okpari, Are, Jonggom, dan Kakaib. Terakhir, Sub Suku Kawiptet. Mereka menguasai kampung Kanggewot, Upyetetko dan sebagian Kawangtet. Beberapa kampung di wilayah Boven Digoel, sering disebut kampung lama, orang Muyu sangat kurang. Mereka telah hijrah di Negara tetangga PNG. Pengungsian itu disebabkan perang antara TNI dan OPM pada tahun 1984 silam di daerah Muyu.
Orang Muyu kini memang telah berubah. Mereka tidak lagi seperti dulu dengan “perang”. Mereka kini berperang dengan keberadaannya. “Kita hanya ingin maju,”

Minggu, 25 April 2010

Wamena

Jual Noken Untuk Biaya Kuliah dan Kebutuhan Hidup PDF Print E-mail

Image

JUBI - Yohana Kotouki dan Theodora Bobii ternyata memiliki ketrampilan untuk menganyam atau menyulam noken dari benang untuk dijual. Mereka bukan hanya membuat noken saja tetapi juga membuat gelang, tempat HP dan kalung untuk di jual, guna menambah biaya hidup dan membiayai kuliah mereka.

Yohana Kotouki yang masih berstatus mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Jayapura, ketika di temui Jubi di depan Toko Aneka Abepura, belum lama ini mengatakan sejak kecil ia sudah membuat noken, karena terbawa dari orang tuanya. Sehingga sejak masih dibangku Pendidikan SD kelas empat, sudah mulai menekuni kerajinan tangan ini sampai sekarang.
“Bapak dan mama saya sudah anyam noken sejak saya kecil, dan itu pekerjaan mereka sehari-hari mereka sehingga dari kelas dua SD itu sudah bisa pegang jarum untuk menyulam noken sampai sekarang,” ujar Yohana Kotoki.
Yohana yang sejak kuliah di Jayapura tinggal di jalan Kesehatan Abepura mengatakan awalnya dia tidak mendapatkan tempat jualan, waktu itu masih semester satu, biasanya menitipkan hasil kerajinan tangannya kepada teman-temannya untuk di jual, tetapi lama-kelamaan mengambil inisiatif sendiri untuk harus berjualan. “Pertama berjalan sendiri mulai tahun 2002, di emperan toko di Abepura sampai tahun 2005. Desember tahun 2005 libur ke Nabire dan balik ke Jayapura hendak berjualan lagi di depan emperan toko Abepura namun sudah tidak bisa lagi karena sudah banyak orang yang berjualan,”ujar Yohana.
Hingga akhirnya pada 2006 lalu pindah berjualan di depan Mall Saga Abepura sampai 2007 namun ketika pulang ke Nabire sudah banyak orang lagi berjualan dan sekarang ini berjualan bersama-sama dengan teman-temannya di depan Toko Aneka,”ujar Yohana. Yohana.
Bahan bahan yang biasa dipakai untuk menganyam atau menyulam satu noken/kantong yaitu benang, benang ini dibelinya Pasar Yotefa. Ada dua macam benang yang dibeli, antara lain benang wol dan benang manila yang harganya Rp 2500 untuk gulungan kecil dan Rp 6000 untuk gulungan sedang. Sedangkan gulungan besar harganya sangat mahal sekitar Rp. 25.000,- untuk satu gulungan.
“Kalau benang yang gulungan kecil itu jelas tidak cukup untuk buat satu noken atau kantong. Begitu juga dengan gulungan yang ukuran sedang, tetapi kalau gulungan yang besar itu cukup untuk buat satu kantong atau satu noken. Tetapi selama ini susah mendapatkan benang karena dari pabriknya di Jakarta belum ada pengiriman. Persediaan susah dan sudah habis. Ada juga yang kecil-kecil tetapi harganya juga lumayan mahal sekitar Rp. 12. 000, 00,-. Ya mau bagaimana terpaksa harus beli,”ungkap Yohana.

Benang yang sudah dibeli kemudian dibuka dan digulung kembali sampai membentuk gulungan yang baru agar mudah digunakan saat menganyam noken. Untuk menganyam noken atau satu bentuk kantong tidak sembarangan langsung mengayam sesuka hati. Namun harus konsentrasi untuk memikirkan bentuk nokennya, ukuran yang di pakai bagaimana, besar atau kecil kemudian motif apa yang harus di buat. “Jadi tidak sembarangan begitu saja langsung dianyam,”jelas Yohana.
“Motif dan ukuran yang dibuat itu menarik minat dari kosumen dan enak dilihat. Kalau motif yang dibuat kurang baik maka noken kurang laku, bahkan kadang sama sekali tidak laku, dan orang akan bosan melihat satu motif tersebut,” ujar Yohana.
Lanjut Yohana, terkadang motif yang dibuat dan jual itu sudah dipesan, misalnya bentuknya seperti apa dan kemudian warnanya rasta atau bendera Papua. Kebanyakan warna yang yang paling banyak di sukai yaitu bendera papua kemdian rasta. Selain warna, ukurannya juga dipilih kemudian di pesan, apa ukuran besar atau kecil.
“Cara-cara menyulam pertama dimulai dari samping terlebih dahulu dan kemudian bagian tengahnya Kalau warna rasta itu cara buatnya, pertama dasar itu hitam terlebih dulu setelah itu kuning. Kalau kuning itu selalu di tengah. Untuk membuat satu kantung/noken itu benang yang di potong tidak terlalu panjang sekitar 7 cm satu gulungan. Dari situ baru mulai dijahit,”ujar Yohana sambil memperagakan hasil sulamannya.
Dikatakan noken ini tidak dijual sendiri bersama dengan temannya saja yang berjualan di depan Toko Aneka tetapi kalau libur kelihatanya jarang mereka jualan. Sehingga kadang Yohana dan temannya saja yang berjualan sendiri di depan Toko Aneka.
Untuk mengayam satu noken ini tidak cukup satu hari tidak cukup. Satu hari paling satu noken saja yang di buat itupun kalau tidak ada kesibukan. Ini juga tergantung besar kecil suatu ukuran dari noken tersebut. Kalau ukuran besar belum tentu satu hari sudah selesai tetapi paling tidak satu hari setengah. Tetapi untuk ukuran kecil mungkin dalam satu hari bisa dapat noken. “Untuk ukuran kecil dalam satu minggu bisa dapat sepuluh noken, itu bisa di jual tetapi kalau ukuran besar dalam satu minggu baru dapat tiga noken, ini belum di bisa di jual. Jadi belum dalam satu dua minggu itu bisa di jual tetapi membutuhkankan waktu yang cukup lama,”kata Yohana.
Tetapi kalau gelang atau tempat Hendphone (HP), itu dalam satu hari bisa dapat sepuluh buah yang dianyam dalam satu hari. Selain itu kalung juga, tetapi mata kalung tradisionalah, berupa buah-buah atau manik-manik. Noken benang yang ada dan di buat sendiri ada beberapa noken yang di kirim dari orang orang tua di Nabire (dari kampung) untuk di jual. Tetapi bahannya pun susah untuk didapat. “Karena bahannya berasal dari kulit tali kayu dan susah di dapat. Noken itu yang biasanya di bilang kantung wamena. “ungkap Yohana.
Dia menambahkan, harga yang diberikan berbeda beda, sesuai dengan ukurannya dan jumlah pesanan. Ukuran kecil di jual dengan harga Rp. 80. 000,- satu buah, kemudian ukuran dengan harga Rp. 100. 000,- satu noken. Harga yang ditentukan untuk semua warna. Tetapi kalau yang sudah dipesan, harganya lain, karena dibuat sesuai dengan permintaan dan membutuhkan benang yang cukup banyak. Jadi, untuk yang ukuran kecil itu harganya Rp.100. 000,- satu buah, sedangkan yang ukuran besar itu harganya Rp. 150. 000,- satu buah. Tetapi tempat HP harganya Rp. 10. 0000,- satu buah, kalung Rp. 15. 000, 00,- satu buah, sedangkan gelang satu buah di jual dengan harga Rp. 500. 000,- satu buah.
Penghasilan yang di dapat tergantung dari pembelinya, kalau dalam satu hari pembelinya banyak maka jelas penghasilan juga lumayan. Misalnya kalau satu malam hanya satu noken ukuran kecil yang laku saja maka penghasilan yang di dapat hanya Rp. 80. 000,- kalau yang ukuran yang besar yang laku maka hanya Rp. 100.000,-. Jadi kalau dalam satu bulan penghasilan yang dapat sebesar Rp 800. 000, - sampai Rp 900. 000,- yang di dapat. “Penghasilan yang di dapat ini di gunakan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari dan juga foto copy tugas dari kampus dan membayar SPP. Kadang penghasilan yang di dapat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari,”kata Yohana mengaku.
Yohana mengaku dia pernah mendapat bantuan dari Pemkot Jayapura pada 2004 sebesar Rp. 400. 000,- Itupun sebagian kecil dari jumlah yang ditentukan dalam proposal yang di buat. “Kemudian tahun 2005 pernah juga mendapat bantuan dari Dinas Sosial sebanyak Rp. 1. 000. 000,-. Tetapi sekarang banyak yang sudah berjualan sehingga sudah tidak ada bantuan dari pemda alias sudah kurang diperhatikan,”ujar Yohana.
Yohana tidak sendirian tetapi dia juga ditemani Theodora Bobii yang juga teman jualan noken. Theodora mengatakan, ia baru mulai berjualan sejak tahun 2006. Awalnya berjualan di atas kapal, kemudian juga titip pada teman-temannya yang sering berjualan di didepan toko. Namun pada tahun 2006 lalu Theodora mulai memberanikan diri untuk berjualan sendiri. Akhirnya mulai berjualan di depan Toko Aneka sampai saat ini.
Menurut Theodora, Noken atau kantung yang di buat ini terlihat cantik dan menarik maka ada dua jenis benang yang di gunakan. Dua jenis benang benang tersebut adalah benang rami dan benang wol manila. Namun diantara kedua benang ini, namun dari dua benang ini yang sering di gunakan adalah benang wol manila. Karena warnanya yang bagus dan banyak di sukai oleh pembeli.
Mereka berdua mengaku bahwa tujuan membuat noken ini untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk membayar biaya kuliah. “Selain itu digunakan untuk membeli makan dan biaya kebutuhan lainnya,”

Biak

Noken dari biak dan Perempuan Papua

SAMA dengan perempuan Papua, noken oleh warga Suku Papua dimaknai sebagai simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan. Karena itu, kantong (tas) yang dijalin dari kulit kayu ini punya kedudukan penting dalam struktur budaya warga Suku Papua.

Kantung dari kulit kayu ini biasanya tergantung di kepala atau leher perempuan Papua, untuk membawa hasil bumi, babi, atau bahkan untuk menggendong bayi. Beberapa noken sekaligus bisa digantungkan di leher perempuan Papua, biasanya disusun bertingkat di atas punggung agar tidak saling menumpuk.
Sekalipun terlihat sangat sederhana, tidak sembarang orang dapat menjalin kulit kayu menjadi noken. Hanya perempuan Papua yang boleh membuat noken, dan perempuan Papua yang belum bisa menjalin kulit kayu menjadi noken sering dianggap belum dewasa dan belum layak menikah. Sementara laki-laki, secara adat tidak diperbolehkan sama sekali membuat noken karena noken adalah sumber kesuburan kandungan seorang perempuan.

Ratusan Suku Papua punya cara sendiri-sendiri untuk menyebut kantung dari kulit kayu ini. Warga Suku Dani menyebut noken ‘su’, suku Biak menyebut noken ‘inokson’, Suku Moor menyebut noken ‘Aramuto’. Suku Marind di Kabupaten Merauke menyebut noken ‘Mahyan’.  Apa pun sebutannya dan jenis kulit pohon yang dipakai, noken tetap punya makna yang sakral dan penting dalam struktur budaya warga Suku Papua.

Konon, dahulu noken mulai dibuat ketika warga suku Papua membutuhkan sebuah wadah untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Ketika itu noken dibuat dari daun kelapa, daun tikar, atau pelepah kulit pohon sagu.

Saat ini jenis-jenis pohon yang kulit kayunya sering dijalin menjadi noken antara lain, kulit kayu pohon Manduam, pohon Nawa. Di Paniai ada jenis-jenis anggrek hutan yang biasanya dipilin dan kemudian dijalin menjadi noken. Noken dari bahan anggrek ini nilai sangat tinggi. Harganya biasa mencapai ratusan ribu rupiah. Sedikitnya ada enam jenis noken yang dikenal di Paniai yaitu, jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Sayangnya, saat ini banyak perempuan Papua yang sudah tidak mahir lagi membuat noken karena berbagai alasan, dan kemahiran menjalin kulit kayu menjadi noken tidak lagi dijadikan syarat ukuran kedewasaan perempuan Papua untuk dinikahi.

Mungkin suatu saat nanti, tinggal segelintir perempuan Papua yang masih mahir membuat noken. Tetapi semoga noken tetap punya makna penting bagi kehidupan orang Papua, sebagai simbol kesuburan, perdamaian, dan kehidupan yang lebih baik.

Tidak hanya itu, kantung dari kulit kayu ini sebenarnya menyimpan realitas kehidupan harmonis warga suku-suku Papua dengan sesama, alam dan penciptaNya.

Merauke