Minggu, 25 April 2010

Biak

Noken dari biak dan Perempuan Papua

SAMA dengan perempuan Papua, noken oleh warga Suku Papua dimaknai sebagai simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan. Karena itu, kantong (tas) yang dijalin dari kulit kayu ini punya kedudukan penting dalam struktur budaya warga Suku Papua.

Kantung dari kulit kayu ini biasanya tergantung di kepala atau leher perempuan Papua, untuk membawa hasil bumi, babi, atau bahkan untuk menggendong bayi. Beberapa noken sekaligus bisa digantungkan di leher perempuan Papua, biasanya disusun bertingkat di atas punggung agar tidak saling menumpuk.
Sekalipun terlihat sangat sederhana, tidak sembarang orang dapat menjalin kulit kayu menjadi noken. Hanya perempuan Papua yang boleh membuat noken, dan perempuan Papua yang belum bisa menjalin kulit kayu menjadi noken sering dianggap belum dewasa dan belum layak menikah. Sementara laki-laki, secara adat tidak diperbolehkan sama sekali membuat noken karena noken adalah sumber kesuburan kandungan seorang perempuan.

Ratusan Suku Papua punya cara sendiri-sendiri untuk menyebut kantung dari kulit kayu ini. Warga Suku Dani menyebut noken ‘su’, suku Biak menyebut noken ‘inokson’, Suku Moor menyebut noken ‘Aramuto’. Suku Marind di Kabupaten Merauke menyebut noken ‘Mahyan’.  Apa pun sebutannya dan jenis kulit pohon yang dipakai, noken tetap punya makna yang sakral dan penting dalam struktur budaya warga Suku Papua.

Konon, dahulu noken mulai dibuat ketika warga suku Papua membutuhkan sebuah wadah untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Ketika itu noken dibuat dari daun kelapa, daun tikar, atau pelepah kulit pohon sagu.

Saat ini jenis-jenis pohon yang kulit kayunya sering dijalin menjadi noken antara lain, kulit kayu pohon Manduam, pohon Nawa. Di Paniai ada jenis-jenis anggrek hutan yang biasanya dipilin dan kemudian dijalin menjadi noken. Noken dari bahan anggrek ini nilai sangat tinggi. Harganya biasa mencapai ratusan ribu rupiah. Sedikitnya ada enam jenis noken yang dikenal di Paniai yaitu, jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Sayangnya, saat ini banyak perempuan Papua yang sudah tidak mahir lagi membuat noken karena berbagai alasan, dan kemahiran menjalin kulit kayu menjadi noken tidak lagi dijadikan syarat ukuran kedewasaan perempuan Papua untuk dinikahi.

Mungkin suatu saat nanti, tinggal segelintir perempuan Papua yang masih mahir membuat noken. Tetapi semoga noken tetap punya makna penting bagi kehidupan orang Papua, sebagai simbol kesuburan, perdamaian, dan kehidupan yang lebih baik.

Tidak hanya itu, kantung dari kulit kayu ini sebenarnya menyimpan realitas kehidupan harmonis warga suku-suku Papua dengan sesama, alam dan penciptaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar